Selamat Berjumpa……Selamat Berkunjung ke Blog Kami , Jangan lupa Tinggalkan Komentar Anda !!!!

Jumat, 20 Agustus 2010

SEPANJANG JALAN KENANGAN

BAGIAN 2
Realita hidup
Perjalanan aku kembali bersama Uwak tidak banyak diceritakan .Jalan yang aku lalui masih tetap ,apa yang bergolak dalam pikiranku juga masih sama ,aku jalan terseak-seok karena Uwak jalannya cepat .Agaknya dalam pikiran Uwak juga dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum dapat menerka jawabnya .Aku dan Uwak saling diam ,hanya sesekali menjawab kalau ada orang yang dikenal menyapanya .
Begitu sampai di rumahku Uwak segera menerobos masuk tanpa minta dibukakan pintu sebagaimana biasanya .Ayahku masih duduk terdiam di tempat semula ,agaknya teramat berat beban yang dideritanya .Wajahnya menjadi kelihatan lebih tua dari usia sebenarnya , kerut wajahnya terlihat jelas bahwa beliau sedang berpikir keras .Matanya yang berkaca2 pertanda sedang dalam kesedihan yang amat mendalam . Betapa tidak baru 40 hari ditinggal mati istrinya karena terinfeksi tetanus ketika melahirkan anak yang ketiga.Sekarang ditambah masalah baru yang lebih berat ,Beliau dipaksa Eyang putri harus menikahi sepupunya yang sama sekali tidak dicintainya .Sungguh simala kama yang teramat membingungkan . Mau mengikuti keinginan Eyang berarti menggali lubang penderitaan untuk sendiri .Tak mengikuti kehendak Eyang berarti harus rela meninggalkan anak-anak tercinta yang masih kecil-kecil ,sungguh tak tega .Pandangan mata ayah tampak kosong ,sedikitpun beliau tak beringsut dari duduknya.Segelas kopi di hadapannya dibiarkan utuh sejak pagi .Alangkah malangnya Wakyan seorang pemuda yang cukup punya nama di kampungnya walau hanya sebagai guru SD namun beliau sangat peduli dengan masyarakat sekitar ,padahal saat itu kondisi social politik sedang carut marut .Ya karena saat itu banyak gerakan-gerakan pengacau yang merongrong pemerintahan RI yang syah . Ketika itu bulan September 1968 ,pembersihan sisa-sisa G30 S/PKI belum berakhir .Kondisi ekonimi masyarakat sangat miskin .

“Wakyan…ana apa , deneng ko keton sedih temen ? “ ( Wakyan …ada apa kamu kelihatan sedih sekali ? ) Wak nrocos begitu saja setelah menerobos masuk ruang depan . Ayah kaget ,tersadar dari lamunannya ,namun belum berkata apa-apa beliau hanya mengingsut tempat duduknya .Kelihatan beliau berpikir keras apa yang harus dikatakan ,ayah tak ingin permasyalahan ini berlarut-larut dan didengar tetangga serta saudara karena baginya itu adalah aib keluarga.
“Yu , kiye bocah-bocah pada diajak Kanding nganah , ora usah takon apa masalahe ,dene aku embuh mengko seurip-urip . Angger aku wis bombong menggko bocah-bocah tek susul “( Yu ,ajaklah anak-anak ini ikut ke Kanding ,jangan tanyakan apa permasalahannya, sedangkan aku entah nanti hidup dimana .Kalau aku sudah tak bersedih akan kususul anak-anak ke sana ) kata-kata ayah memecah keheningan dengan suara yang lemah dan terbata-bata karena menahan rasa pedih yang mendalam .Uwak jembo tak dapat berkata apa-apa ,pikirannya sudah dapat menangkap apa yang terjadi .Hanya air matanya terliat mulai mengalir membasahi pipi keriputnya.Ia sangat sedih menghadapi kenyataan dihadapannya apa lagi melihat keponakannya yang masih keci-kecil.Ia tidak yakin akan dapat mendidiknya dengan baik sehingga ia sangat mengkhawatirkan bagaimana nasib masa depan mereka.Segeralah bergegas Uwak Jembo mengemasi pakaian aku ,kakakku dan juga pakaian adikku yang masih bayi .Namun kami tidak segera pergi karena harus menunggu kakakku pulang sekolah.
Gegap gempita suara anak-anak kecil yang melewati lorong di sebelah timur rumahku terdengar jelas ,ketika itu mata hari hampir di atas kepala . Aku yakin diantara mereka pasti ada kakakku ,ia baru pulang sekolah . Suaranya yang melengking terdengan sambil menyanyikan lagu “gelang sipatu gelang “ walaupun nadanya tidak pas menandakan anak-anak girang pulang sekolah ,wajahnya sangat ceria ia belum tahu apa yang telah terjadi di rumahnya . Kakakku terperanjat ketika memasuki ruang depan karena dilihatnya Ayah sangat sedih ,sementara Uwak Jembo duduk berdiam diri di kursi diseberang meja .Sedangkan aku sedang mengemasi apa-apa yang dapat di bawa untuk keperluan di Kanding nanti .
Tanpa tahu apa yang terjadi ,kakakku tiba-tiba menangis . Mungkin ia dapat merasakan kesediahan Ayah dengan melihat suasana di rumah ketika itu .Uwak Jembo segera mendekati kakakku seraya menghibur kemudian mengajaknya berganti pakaian .” Kamu dan adik-adikmu segera ikut Uwak ke Kanding ,nanti sekolahmu pindah ke sana “ kata –katanya lembut . “ Emangnya ada apa wak…kenapa harus pindah ke Kanding ? tanya kakakku ingin mengerti . “Nanti setelah kita pindah kamu akan tahu alasannya”.kata Uwak selanjutnya.
Hari itu , selasa ,27 September 1968 pukul 12.45 wib waktu yang sangat bersejarah bagi keluargaku ,karena pada hari itu terjadi tragedi memilukan yang tak diduga sebelumnya. Kebahagiaan keluargaku terkoyak ,tercabik bahkan tertindas .Penderitaan seorang suami yang baru 40 hari ditinggal istrinya ,anak-anak di bawah umur yang kehilangan ibunya ,ditambah harus terusir dari kerabat dan keluarga . Lengkaplah penderitaan keluargaku hancur berkeping-keping . Eyang ,yang pada umumnya lebih sayang dari pada orang tua sendiri ,Orang tua dari Ayah dan Ibuku yang biasanya menjadi tumpuan bagi anak-anaknya.Bahkan menjadi musuh yang sangat keji dan tega terhadap darah sendiri .Apakah karena eyang adalah ibu tiri dari ibuku ? Apakah kekejaman ibu tiri menurun kepada cucu-cucunya ?Apakah ada masalah lain ? Pertanyaan-pertanyaan itu tak terjawab oleh anak-anak seusiaku waktu itu.Yang jelas kami sekeluarga harus pergi ,merelakan kebahagiaan yang selama ini dirasakan ,merelakan tempat tinggal yang selama ini menjadi tempat hidupnya ,berpisah dengan orang tua yang tinggal satu-satunya yaitu ayah .Pergi….pergi ….tidak ada pilihan lain kecuali pergi untuk mempertahankan hidup .
Tubuh ini terasa begitu lemas ,kaki rasanya kaku untuk melangkah ketika aku harus menapak meninggalkan rumahku sendiri . aku berjalan paling depan ,kedua tanganku penuh dengan beban seberat aku mampu mengangkatnya. Di belakangku adalah kakakku ,ia menggendong adikku yang baru 40 hari .Wak Jembo berada di paling belakang ,dipunggungnya menggendong bakul yang penuh dengan muatan .Tangan kanannya menjejinjing tas anyaman plastik yang berisi pakaian ,sedangkan tangan kirinya memegangi beban dikepala. Kami berjalan tanpa menghairaukan kiri dan kanan ,tanpa mempedulikan orang-orang yang dilewati ,tanpa mempedulikan keringat bercucuran,tanpa mempedulikan letih . Dalam pikiran yang ada lekas sampai tujuan . Kalau diperhatikan kepergianku dari rumahku sendiri seperti orang yang pergi hendak mengungsi karena bencara alam atau /perang . Sepanjang jalan kami berjalan berurutan bagaikan semut yang keberatan membawa makanan untuk mempertahankan hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar