Esok hari sepulang sekolah, teman-teman Sofi berkumpul dan bersiap ke rumah Mia.
“Fi! Ke mana? Nggak ikut ke rumah Mia?”
Sofi mengelus botaknya beberapa kali. Dengan santai ia melangkah dan bersiul-siul.
“Buat apa ke rumah Mia?” Tangannya berkacak pinggang memandang teman-temannya.
“Ya, belajar dong! Besok kan, ujian matematika. Banyak rumus yang harus dihafal, lo!”
“Kalian saja yang belajar, aku tidak perlu melakukannya.”
“Kok bisa begitu?”
“Tentu bisa, karena aku telah mendapatkan resep mujarab dari kakekku.”
“Resep, apa sih?” Tanya Mia penasaran.
“Resep agar sukses ujian.”
“Alaa…ah, paling juga disuruh belajar.”
“Wah, kalian salah. Pokoknya ini rahasia!” jawab Sofi sambil mengerling genit.
“Dasar pelit! “ Mia mengomel sebal.
“Jangan-jangan kakeknya Sofi dukun.” Komentar Anton.
“Ha…ha…ha… dipanggil aja Mbah dukun.” Jaka tertawa terbahak-bahak.
“Jangan sembarangan, ya! Kita lihat saja besok.” Sofi pergi sambil menggerutu sepanjang jalan menuju rumah.
Malam telah tiba. Sofi segera mempersiapkan keperluannya. Catatan matematika, segelas air putih, sesendok gula dan sedikit garam. Dengan hati-hati tangannya membakar lembar demi lembar catatan matematikanya. Abu bakaran ditampung di piring palstik yang diambilnya dari dapur. Beberapa lembar catatannya terbakar. Dengan hati-hati tangan Sofi memasukkan abu ke dalam gelas sedikit demi sedikit.
“Sofi.. Sedang apa di kamar, Nak? Kok ada bau benda terbakar dari kamarmu.” Teriak Ibu dari ruang tengah.
Sofi terperanjat. Dia mendekat ke pintu, mengamati lubang kunci dengan seksama. Ia memastikan pintu kamarnya telah terkunci.
“Tidak apa-apa kok, Bu. Sofi hanya mempersiapkan untuk ujian besok.” Sofi pun melanjutkan pekerjaannya. Diaduknya larutan abu yang diberi gula dann garam dengan hati-hati. Ia tidak ingin orang lain mengetahui apa yang sedang dilakukannya di kamar.
“Huek..kk!” Sofi berlari ke jendela, memuntahkan isi mulutnya.
“Ternyata rasanya tidak enak. Bagaimana Kakek dulu meminumnya, ya?” di pandanginya air keruh yang mengisi setengah gelas. Sofi membayangkan dirinya akan menjadi bahan olok-olok teman-temannya jika tidak bisa mengerjakan ujian.
Dengan mata terpejam dia paksa meminumnya sekali lagi.
“Huek…kk!.. Huek..kkk!!”
“Sofi..” Tok..tok…tok.. Suara Ibu di depan pintu. “Ada apa,, Nak?”
Uhuk..kk! Uhuk…k! Sofi terbatuk-batuk.
“Sofi hanya tersedak, Bu.”
“Buka pintunya, Ibu buatkan susu hangat untukmu.” Sofi terkesiap. Segera ia sembunyikan gelas yang berisi ramuan ke dalam lemari buku. Dengan wajah dibuat setenang mungkin ia membukakan pintu untuk ibunya.
“Benar kamu tidak apa-apa?”
Sofi menggeleng. Ibu menaruh segelas susu di meja belajarnya. Sofi was-was, takut ibunya menemukan gelas yang disembunyikan.
“Kakek, di mana?”
“Ada di kamarnya. Kenapa?”
“Enggak, kok Sofi tidak mendengar suaranya.” Tak lama kemudian Ibu Sofi meninggalkan kamar. Sofi mengambil gelas yang disembunyikan di almari buku . Diamatinya gelas itu lama-lama.
Kuteruskan, nggak ya? Tanya Sofi dalam hati. Sofi mengelus botaknya berkali-kali. Diambilnya sisa catatan yang belum dibakar. Begitu banyak rumus yang harus dihafalkan. Ah, daripada susah-susah menghafal, mending kuteruskan minum ramuannya.
Kali ini Sofi menyiapkan segelas air putih yang baru diambilnya dari ruang makan. Sofi mencoba meminum lagi ramuan ajaibnya.
“Huekk..k!! Huekk…k!!” Kembali Sofi mual. Dia segera berlari ke jendela dan memuntahkan ramuannya. Dengan cepat tangannya mengambil air putih dan meminumnya.
“Aku benar-benar tak dapat meminumnya.” Sofi mulai pasrah. Wajahnya agak pucat. Kepalanya pusing.
“Aha..! Bukankah kakek dulu juga merasa pusing dan mual? Artinya ramuan ini mulai bekerja.” Sofi sedikit gembira mengingat perkataan kakeknya. Ia pun memilih tidur dengan harapan besok pagi semua rumus yang diminumnya sudah melekat di kepalanya.
* * * *
Jam setengah tujuh pagi. Sofi masih tidur di kamarnya. Berkali-kali ibunya mengetuk pintu. Tapi tak ada jawaban. Dengan sedikit khawatir, tangan ibu Sofi mencoba menarik handel pintu.
Klek. Pintu terbuka. Rupanya Sofi lupa mengunci pintunya setelah mengambil air putih tadi malam. Ibu Sofi memegang keningnya. Panas. Rupanya Sofi demam.
Sofi membuka matanya dengan berat.
“Kamu sakit, Nak?”
“Kepalaku pusing, Bu. Aku juga kedinginan.”
“Kalau begitu, jangan masuk sekolah dulu. Istirahat di rumah saja.”
“Tapi hari ini Sofi ujian, Bu.”
“Nanti Ibu telepon ke sekolah, agar boleh mengikuti ujian susulan.”
Sofi hanya bisa pasrah.
“Ibu telepon ke gurumu, ya.” Sofi mengangguk. Sebelum ibunya keluar Sofi memanggil.
“Bu, tolong panggilkan Kakek, ya.” Ibu Sofi mengangguk dan pergi meninggalkan kamarnya. Tak lama kemudian Kakek telah muncul di depan pintu kamar Sofi.
“Aduh Sofi, mau ujian kok sakit.” Kakek mendekat dan duduk di tepi dipan. Kakek Sofi melihat isi kamar. Matanya langsung tertuju pada gelas yang berisi cairan gelap.
“Sofi minum, kopi?”
Kepala Sofi menggeleng.
Kakek melangkah mendekat meja dan mengangkat gelas. Diciumnya isi gelas dengan hati-hati.
“Kamu membuat rauan ini?”
Sofi mengangguk pelan.
“Siapa yang mengajari?” Tanya Kakek bingung.
Dengan wajah murung Sofi menjawab.
“Dua hari yang lalu aku mendengar Kakek sedang bercerita tentang ramuan ajaib kepada nenek. Makanya aku mencobanya.”
“Ha..haa..Haa. Ooh.. itu rupanya penyebabnya. Makanya sekarang Sofi sakit.”
“Tapi Kakek dulu juga sakit kan setelah minum ramuan itu?”
“Ya. Kakek langsung sakit.”
“Dan Kakek jadi pintar matematika, kan?”
“Waduh! Pasti kau tidak mendengarkan dengan lengkap cerita kakek waktu itu. Setelah minum ramuan itu, kakek masih ikut ujian. Dan hasilnya, kakek dapat nilai tiga!.”
“Haaa ??! Tiga?” Sofi tidak percaya mendengarnya. “Lo, bukankah kakek pandai matematika?”
“Ya, karena setelah itu Kakek rajin belajar agar semua rumus matematika dapat melekat di kepala. Bukan dengan meminum rumus-rumus itu.”
Sofi semakin lunglai. Karena ia berharap dapat pandai matematika tanpa harus susah-susah belajar.
“Sofi ingin menghafal rumus-rumus matematika?”
“Tentu saja.”
“Kalau begitu,, salin semua rumus di bukumu. Lalu tempelkan rumus-rumus itu di dinding kamar, di kamar mandi, dan bawalah kemanapun kau pergi. Dan bacalah jika senggang. Kakek yakin kau akan dengan mudah menghafalnya.”
“Baiklah. Aku akan mencobanya.”
“Ingat, Sofi. Tidak ada jalan pintas untuk pintar. Semua harus dimulai dengan usaha dan kerja keras. Sekarang istirahat dulu.”
Sofi pun mengerti, kalau ingin pintar ia harus belajar, bukan dengan minum ramuan ajaib.
Sumber : Istana Cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar