Ida …mengapa kau belum mengerti juga?
Masa
anak-anak telah berlalu .Kini aku sudah menginjak masa remaja .Kesadaran diri
untuk lebih berpikir positif lebih meningkat .Kepribadian semakin matang baik
secara biologis maupun psikologis .
Kini
pergaulanku semakin luas ,kalau dulu hanya sebatas teman kelas dan teman
seperjalanan pulang dan berangkat sekolah dari tetangga desa , sekarang aku
lebih mengenal teman-teman dari sekolah lain .
Perhatianku agak kurang fokus. Jika tak mengingat bahwa
pelajaranku juga sesuatu yang penting, bisa-bisa aku uring-uringan saja
menghadapi pelajaran siang itu. Juga jika tak ada Ida Ayu di ruang kelasku,
ingatanku hanya tertuju kepada angan dan pikiranku untuk tetap bersekolah
walaupun seberat apapun yang harus aku hadapi.
Ida Ayu-lah yang dapat membuatku tenteram, bersemangat
,apa pun kondisi yang ada di belakangku. Entah hawa apa yang dimiliki olehnya
hingga demikian dahsyat mempengaruhi perasaanku.
Bukan untuk bercerita dan meminta pemecahan
masalahku. Hanya menatapnya, melihatnya, tahu dia ada, aku jadi nyaman. Keluh
kesah penderitaanku tak akan kuceritakan kepadanya. Juga latar belakang keluargaku
tentu aku menjaga gengsi ,apalagi kalau dia tahu tentu takan mau lagi dekat
denganku.
Ida Ayu Alfika Puspa Adi , nama lengkap gadis
itu .Ia teman satu kelas di SMP yang paling dekat denganku dan sekaligus sainganku
di kelas.Ia memang pandai ,perolehan nilainya selalu bagus hampir semua mata
pelajaran.Sekarang kebetulan ia bersama lagi melanjutkan di Sekolah faforit di
Kotaku .
Kami ke perpustakaan siang itu. Tidak
bisaanya Ida Ayu demikian ceria. Dia segera menyambar buku sekenanya. Dan agak
mendesakku untuk cepat-cepat duduk.
“Ada apa?” aku penasaran. Kuambil buku asal
saja. Tidak sempat kuperhatikan apa judulnya, siapa pengarangnya, bahkan
tentang apa. Segera kuikuti Ida Ayu yang memilih tempat duduk agak di sudut.
“Ada apa, Ida?” tanyaku sekali lagi.
“Ngngngomong penting. Tapi jangan bilang
siapa-siapa.”
“Masalah apa?”
Gerak-gerik Ida Ayu membuatku penasaran. Ida
seakan sengaja membawaku ke situasi demikian. Entah apa yang sedang terjadi.
Dari gerak-gerik Ida aku tahu ia gugup dan berbeda daripada waktu-waktu
sebelumnya.
“Masalah perasaan anak laki-laki terhadap
anak perempuan. Dan sebaliknya.”
Ida berkata dengan setengah berbisik.
Seketika darahku tersirap. Baru sekarang aku
mendengar Ida membicarakan apa yang selama ini menyebabkanku benci setiap kali
menonton sinetron dengan latar anak sekolah tapi hanya meributkan soal pacaran.
Selama ini aku menghindari membicarakannya, karena mempertahankan pendapat dan
prinsip. Aku tak ingin membicarakannya, meskipun aku sendirilah yang sedang
merasakan. Karena aku berharap, satu saat Ida Ayu akan mengerti dengan
sendirinya, seiring kebersamaan dan kedekatan kami. Satu saat ketika waktu
mengatakan bahwa aku pantas membicarakannya, pasti akan terjadi juga.
“Aku harap kau tak menganggap ini sebagai
keanehan jika aku menanyakannya padamu. Kau pasti pernah merasakannya juga,
bukan?”
Darahku serasa makin tersirap. Sudah
datangkah waktuku? Waktu untuk bicara tentang perasaanku padanya? Jadi dia yang
mengatakannya lebih dulu? Jadi aku tak usah merasa bersalah karena melanggar
prinsip yang selama ini aku pegang? Juga aku tak usah repot jika ternyata dia
tahu perasaanku, merasakan apa yang aku rasakan?
Kadang-kadang hatiku malu. Malu jika
mendengar orang tua-orang tua dahulu tak perlu berbasa-basi dalam cinta. Begitu
ada rasa suka, segera ada pertemuan orang tua. Jika hari kelahiran mereka cocok
menurut perhitungan adat dan segenap keluarga menyetujui, jadilah mereka
sepasang pengantin tidak lama kemudian. Sementara anak muda sekarang belum
tentu akan jadi pengantin sudah mendemonstrasikan kegombalannya. Aku malu,
sebab ternyata aku masuk di dalamnya. Aku malu, oleh karena aku sama saja
dengan anak-anak dalam sinetron yang membuatku sebal itu.
“Kok diam saja?” Ida Ayu bertanya lagi.
“Iiiiyyya. Aku pernah. Memangnya kenapa?”
“Kau, bagaimana mengatakannya? Maksudku kau
anak lelaki. Lebih pantas bicara lebih dulu.”
Aku belum mengatakannya. Aku hanya
memperlakukannya demikian berbeda dan istimewa daripada perlakuanku kepada
orang lain. Apa kau tidak tahu, engkaulah seseorang yang kuperlakukan seperti
itu?
“Kenapa kamu menanyakan hal itu?” tanyaku
sekaligus menyembunyikan ketakberaturan debaran jantung di dadaku.
“Sebenarnya aku sangat malu padamu. Aku hanya
merasa aku dan kau begitu dekat. Dan aku tak tahu harus kepada siapa kukatakan,
jika bukan padamu. E, ini aku mendapatkan ini.”
Aku masih berdebar. Tak seluruh gerakannya
dapat kuikuti dengan padangan mataku. Tahu-tahu dia sudah memegang sebuah
amplop bersampul biru. Selembar kertas yang juga berwarna biru dia keluarkan
dari dalam amplop berwarna biru itu. Enak sekali saat dia sodorkan kertas itu
padaku.
“Aku tidak tahu bagaimana kata-kataku
menceritakan hal ini. Jadi kau baca saja. Maaf ya, sudah, merepotkanmu.”
Mau tak mau, siap atau tidak, aku menerima
kertas itu. Aku sadar betul, tak hanya dadaku yang berdebar, tanganku pun
bergetar. Perlahan kubuka kertas itu. Lalu kubaca huruf demi huruf yang
tertulis di sana. Tidak banyak. Agak singkat, dan penuh kata-kata gombal. Ida
Ayu-lah yang berhak atas surat dengan semua kata-kata gombal itu.
Aku menyadari, meski demikian banyak puisi
menghiasi sampul dan lembaran-lembaran bukuku, tak sekalipun aku sempatkan
menuliskan satu bait saja yang aku kirimkan kepada Ida. Betapa pun menggebu-gebu
tak teratur hatiku memendamnya. Sial, ternyata ada orang lain, anak laki-laki
lain yang mendahuluiku. Sebelum sempat kuungkap perasaanku. Sebelum sempat Ida tahu dan mengerti. Apakah kebersamaan kami
selama ini tak juga membuatnya mengerti? Apa sikapku tak terbaca?
“Aku hanya meminta pendapatmu. Apa kira-kira
dia sungguh-sungguh merasakan seperti yang dia tulis? Atau hanya
merayu-menipu?” justru Ida nyerocos. Nyerocos pada saat pedih
hatiku tak terkira.
“Bukankah kau sahabatku? Hanya kepada
sahabatku aku terbuka bercerita. Menurutmu bagaimana?”
Wajah itu demikian ceria. Penuh harap
menunggu tanggapanku. O, andai pertanyaan itu tak memedih hati, kutatap dia.
Yang terjadi pasti seperti selama ini: selalu timbulkan gairahku, semangat.
Memandang Ida saat ini, rasanya lebih baik memandang air comberan dan membuang
jauh-jauh penglihatanku untuk sembunyikan perasaan kecewa.
Jujur, Ida hanyalah cinta kedua, andaikan
perasaanku terhadap Sudiarti dianggap sebagai cinta pertama. Tetapi Ida-lah
yang paling dalam kujatuhi perasaanku. Sampai jalan-jalan di terminal bising,
memutari pasar kumuh dan bau , berlama-lama duduk bersama di bawah pohon kenari
kuanggap sebagai momen paling mengesankan. Sampai seluruh sampul bukuku penuh
dengan puisi tentang dia dan hari-hari bersamanya. Sampai di setiap sudut dan
langit senthong hanya ada dia!
Sekarang, dengan tega dan mudah saja dia
menghancurkan semuanya. Menghancurkan secara konyol dan menyebalkan. Dia
katakan hanya aku sahabat terdekat baginya. Hanya aku satu-satunya tempat
paling tepat untuk bercerita. Hanya aku satu-satunya. Sahabatnya. Sahabatnya?
Padahal bagiku Ida tak sekadar itu. Aku
menganggapnya lebih dari yang sudah dia katakan. Demikianlah yang kuinginkan
dari dia tentang aku.
Maaf karena merepotkan. Itu tak akan cukup.
Betul kau harus minta maaf, Ida. Tapi bukan saja untuk perasaanmu yang kau
pikir merepotkanku. Ketahuilah, kau tidak hanya telah merepotkan. Lebih utama
kau sudah melululantahkan segenap jiwaku. Kau redupkan segala terangku. Kau
tahu itu, Ida?
Tambah menyakitkan, kau minta pendapatku
tentang perasaan seseorang yang menginginkanmu. Ini yang paling kejam. Aku
ingin melenyapkanmu. Aku ingin menggunduli rambutmu yang hitam, lebat, dan
panjang itu. Ingin, ingin sekali.
“Kenapa diam? Jawablah! Ayo jawab!”
Dia merengek lagi. Menyebalkan! Sangat
menyebalkan!! Seharusnya kamu tahu dari dulu, bahwa aku jadi gerah setiap
melihatmu bersama teman lelaki lain. Seharusnya kau mengira-ira apa akibat
kekonyolanmu ini, Ida. Jika dulu aku hanya merasa gerah, sekarang aku hampir meledak.
Panas, panas sekali.
“Maaf, aku….”
Hanya itu yang keluar dari mulutku. Lalu aku
bangkit. Buru-buru Ida memegang tanganku. “Aku harus pergi.”
“Kau mau ke mana?”
“Ke toilet. Ingin pipis dari tadi.
Sungguh.”
“Sebelum ke sini kau sudah melakukannya, bukan?”
Benar. Seperti sudah diprogram, begitu bel
istirahat dibunyikan dan guru yang mengajar di kelas kami berjalan ke luar, aku
segera ke kamar kecil, sebelum kulakukan hal lain.
“Pulpenku habis. Ke koperasi sebentar.”
“Kita baru beli kemarin, kan?”
Benar lagi. Baru kemarin kami membeli dua
buah pulpen. Masing-masing satu. Untukku dan untuk Ida.
“Kamu kenapa sebenarnya?”
“Mendadak kepalaku pusing.”
“Kok malah pegang perut?”
Sial, mengapa jadi kacau seperti ini?
“Maksudku, aku merasa mual dan kepalaku pusing.”
“Aku ada obatnya. Atau kita ke UKS saja?”
“Tidak usah. Terima kasih.”
“ Dar, jangan aneh begitu.”
Lagi-lagi dia merengek. Lain waktu, meski Ida
jarang merengek, aku suka gayanya. Apalagi sebenarnya Ida cenderung tegar,
tidak manja. Sekarang, rengekan itu membuat isi perutku seakan mau keluar
semua. Juga jika dia memanggil dengan menyebut namaku langsung, akan membuatku
girang tak tertahan. Kini, seballah yang tak dapat kutahan.
“Kau minta tolong, aku juga sedang pusing, Ida!”
Tanpa terkontrol, keluarlah bentakan itu.
Bentakan yang kemudian aku tahu terlalu dahsyat karena keluar dari seorang Darwono.
Kulihat Ida terbengong seketika. Beberapa anak segera mengalihkan perhatian ke
arah kami. Sedikit kegaduhan sempat mengantarkan kami sampai di pintu. Pada saat
itulah aku tahu, Nuning Setyo Wati ada di antara sekian puluh pasang mata yang
menyaksikan kami.
“Darwono, apa-apaan kamu? Cari sensasi saja. Ida,
kamu juga. Sudah kubilang jangan dekat-dekat anak itu, masih saja. Begini
akibatnya. Lain waktu dibela, lain waktu dipermalukan.”
“Diam kamu! Tidak tahu apa-apa juga,” timpal Ida, yang
kemudian mengejarku.
“E, keras kepala, ya? Lihat saja sendiri
nanti!” teriakan Nuning mengantar kami ke luar dari ruang perpustakaan. Aku
memutari ruangan itu. Rupanya Ida masih mengikutiku.
Ida tetap saja mengejarku. Kami tiba di
belakang bangunan kelas dua. Tempat tempo hari aku dihajar kakak kelas .
“Nuning benar, Ida. Jangan mendekatiku lagi.”
“Kau sakit?” Ida Ayu berkata pelan dan tidak
manja. Aku hanya mengangguk dan sedikit pejamkan mata.
“Aku minta maaf. Tidak tahu kau sedang tak
enak badan. Aku mengerti mengapa kau membentakku. Aku bercerita pada saat tak
tepat. E, kau masih menganggapku sahabat, kan?”
Kalaupun tidak, apakah ruginya bagimu? Kau
sudah memiliki seseorang. Daripada aku tak rela kau menyambut penjatuhan hati
anak-anak laki-laki lain. Persahabatan seperti ini terlalu menyakitkan bagiku.
“Aku bisa mengantarmu ke UKS.”
“Ida, aku hanya sedang tak ingin diganggu.
Tolong.”
Perasanku semakin kacau. Debaran-debaran tak
beraturan semakin dahsyat. Bayangan peristiwa di ruang perpustakaan, melintas
berkali-kali. Setiap detik aku bernapas. Selagi pikiranku kacau karena keadaan
keluargaku sendiri, kukira bersama Ida aku akan tenang, ternyata Ida menambah
satu lagi masalah.
Jarang sekali dia membuatku pusing. Dan tak
pernah aku membentaknya. Apalagi di hadapan kawan banyak. Tak wajarkah aku
marah? Tak wajarkah aku terbakar?
Hari berlalu dengan menjenuhkan. Jam terakhir
pelajaran Sejarah, menambah pusing kepalaku. Ada gelisah bercampur resah. Ada
duka berpadu gundah.
Please visit back http://cewekecil-artikel.blogspot.com/
BalasHapusthanks =))