Selamat Berjumpa……Selamat Berkunjung ke Blog Kami , Jangan lupa Tinggalkan Komentar Anda !!!!

Sabtu, 18 Desember 2010

Kesetiaan Suminah

Senyap mengawali petang. Seiring surut cahaya mentari, warna merah senja menjadi pekat. semilir angin dingin mulai terasa ,suara jangkrik mulai bersahutan. Seakan tak ingin melewatkan heningnya malam bertabur bintang, mereka berdendang bersama kedamaian malam yang semakin larut. Sepi, ya begitu sepi suasana kampung .Rumah-rumah penduduk masih jarang ada beberapa terliat titik –titik cahaya lampu minyak temaram dari kejauhan. Jalan kampung mulai senyap. Seakan ada semacam tradisi bahwa selepas maghrib adalah waktunya orang-orang berkumpul bersama keluarga. Orang-orang kampung lebih suka berdiam di rumah masing-masing dari pada keluar bersama teman-bercanda di gardu ronda kedai kopi atau tempat strategis lainnya. Mereka punya alanan karena di siang harinya sudak letih bekerja keras mengais rezeki untuk menghidupi keluarganya. Suminah masih tekun dengan pekerjaannya. Malam ini ada dua potong petelesan suaminya yang perlu ditambal. Sementara Parjan suami Suminah sudah berbaring di balai-balai tidak jauh dari istrinya duduk hanya berbataskan meja . Namun, lelaki itu pun belumlah lelap. Melalui cahaya sentir, mata laki-laki itu sesekali menatap wajah istrinya. Memandangnya tanpa bosan. Istrinya yang masih sangat muda. Selisih sekitar lima tahun. Ia sendiri belum lama meninggalkan usia dua puluh satu tahun. Orang-orang kampung cenderung menikah pada usia relatif muda. Setiap memandang wajah istrinya, selalu saja ada degupan tak beraturan dalam dadanya.

Wajah yang lembut dan senantiasa mengundang gairahnya. Malam ini pun demikian. Namun wanita itu masih duduk di tepi meja yang membatasi mereka. Ia serius dengan jarum tangan, benang, dan petelesan yang tengah ditambalnya. Lelaki muda itu tak tahan lagi. Darahnya telah terlalu bergejolak. Perlahan dia bangkit. Lalu dia raih bahu istrinya. Ia bawa ke pelukan. Perlahan sekali, dia dekatkan bibirnya ke arah leher wanita itu. Suminah seketika menggeliat. Tersenyum lembut. Dan dengan mata setengah terpejam menyambut wajah suaminya. “Kau pun sudah kelihatan mengantuk. Selesaikan besok saja.” Kali ini bibir itu bergerak lebih ke atas. Tangan yang perkasa memagut dagu yang lembut. Suminah cepat meletakkan jarum dan petelesan. Kedua tangannnya mencari tangan lelaki itu, kemudian Suminah membawa tangan itu ke arah perutnya. Bundaran yang indah , Semakin hari semakin besar. Semakin membuat lelaki itu tersadar, dia harus lebih sabar, lebih perhatian. “Dia tak terlalu nakal, bukan?” Sekarang tangan lelaki muda itu mengelus membelai lembut. Perlahan dia rebahkan kepalanya di pangkuan wanita itu, menempel pada perut. Seakan ‘mendengarkan’ suara di balik dinding perut itu. “Tidak terlalu. Tetapi setiap Kakang pergi, selalu terasa kakinya menendang-nendang lebih kencang dan keras. Sepertinya dia tak pernah mau Kakang tinggalkan....” “Sebenarnya dia atau kau yang tak ingin aku tinggal?” pelan lelaki itu berbisik menggoda. Yang ditanya tersenyum malu, sekaligus senang. ”Kakang bisa saja menebak perasaanku. Aku juga tidak mau kalau Kakang pergi, sekalipun sebentar saja. Dan tentang anak kita ini, sepertinya ingin ikut jalan-jalan setiap kali Kakang pergi....” Wanita itu mengelus perutnya. Sang lelaki ikut membelai perut istrinya. ”Mendung di langit tak berarti hujan , hujan di hulu tak berarti bajir di hilir ” . ungkapan peribahasa ini barangkali sering menggambarkan kehidupan kita . Kita tidak dapat memastikan sesuatu yang bakal terjadi. Apa yang kita rasakan sekarang belum tentu akan berkelanjutan dan kita tidak tahu apa yang terjadi di kemudian hari. Begitu pula kebahagiaan Suminah dengan Parjan suaminya yang sedang sangat berbahagia menantikan kelahiran anak pertamanya. Parjan suami suminah adalah seorang buruh yang bekerja pada seorang pengusaha ”aci ” yang sudah cukup terkenal di kampungnya. Seharian ia bekerja dengan tekun melawan terik matahari karena harus menjemur aci yang baru dipisahkan dari ampasnya. Aci adalah tepung sari pati yang diambil dari ketela pohon ( tapioka ) . Para pengusaha membuat tapioka dan membawanya ke kota untuk bahan berbagai makanan olahan. Di desa Kali urip industri ini cukup menghidupi masyarakat buruh dan menyerap banyak tenaga ,karena sulitnya mencari pekerjaan yang tetap . Buruh mencangkul di ladang , kebun atau sawah ada musimnya .begitu pula memetik kelapa , menyiangi tanaman , memupuk atau pekerjaan bertani lainnya juga musiman. Itulah sebabnya bekerja di industri aci banyak peminatnya walaupun penghasilannya relatif kecil. Beberapa bulan lagi istri Parjan tentu akan melahirkan ,oleh karena itu ia bekerja giat dengan semangat agar mendapat banyak uang untuk membiayai keperluan menyambut kelahiran anaknya. Mitoni jika kandungan Suminah sudah tujuh bulan ,persiapan membenahi kamarnya agar lebih nyaman dan bersih ketika Si kecil lahir. Membeli popok dan uborampe lainnya yang diperlukan bayi .Ia berusaha memaksakan untuk menyisihkan uang hasil kerjanya setelah diambil untuk keperluan harian keluarga. Namun karena memang upah kerjanya yang tidak seberapa sehingga berat juga rasanya untuk dapat mencukupi kebutuhan yang diperlukan. Pernah terpikir untuk menjual kambingnya atau menjual apa saja yang dapat bernilai uang yang dimiliki jika nanti diperlukan biaya lebih untuk kelahiran anaknya. Itu menurutnya lebih baik , kelak kalau sudah punya rizki kan dapat membeli lagi . ”Kang, ini tidak biasa,” calon ibu muda itu berkata dengan khawatir. ”Aku juga bingung, Sumi. Tapi sudahlah. Paling juga sebentar- sebentar bisa pulang.” Tiba di rumah Sutarman ,Parjan bertemu dengan beberapa orang yang telah bekerja di sana. Semua wajah orang itu gelisah, dan tegang. Tiga orang pekerja seperti halnya menyimpan kekhawatiran , Sutarno dan beberapa orang lainnya berada di rumah Sutarman. ”Kakang di sini juga?” sapa Parjan melihat Sutarno. yang ditanya acuh tak acuh saja. Tidak seperti sebelumnya, Parjan tak melihat orang itu berhaha-hehe. Sutarman sudah cukup lama dikenal sebagai pengusaha yang sukses di desa tetangga .Rumah tempat tinggalnya besar dan serba mewah .Mobil kendaraan harianya juga bagus . Anaknya yang dua orang sudah dibelikan sepeda motor sendiri-sendiri.Di bagian belakang rumah ada gudang cukup besar tempat menyimpan barang dagangannya untuk sementara. Setiap hari karyawannya sibuk datang pergi mengambil dan mengantar barang dagangan. Kang ,sebenarnya apa sih usaha Pak Sutarman ? tanya Parjan kepada Sutarno. Aku disuruh kerja apa di sini ? lanjutnya. Kamu lihat sendiri ,usaha Bos Tarman sangat sukses , kamu ditugasi bekerja di gudang bongkar muat ketika ada kiriman .Bekerja di sini yang penting jangan banyak bertanya? Mengerti, jawab Sutarno menjelaskan. Ya Kang aku mengerti , jawab Parjan meskipun sebenarnya masih bingung . Sekarang kerja Parjan lebih ringan dan upah yang diperolehnya juga dua kali lebih banyak dari upah bekerja seharian menjemur aci. Ia merasa lega , ” Kalau begini aku pasti bisa mencukupi kebutuhan untuk istriku melahirkan ” katanya dalam hati. Biar aku relakan pulang seminggu sekali tidak mengapa toh di rumah Suminah ada yang menemani yaitu Ibu mertuanya. Waktu berjalan begitu cepat , Parjan sudah empat bulan bekerja di tempat Bos Sutarman . Persiapan biaya untuk melahirkan Suminah istrinya sudah cukup lumayan banyak. Di desa Kali urip , Suminah menunggu dengan gelisah. Lewat tengah hari suaminya belum juga pulang. Dan ketika pulang, Suminah melihat lelaki itu datang dengan tubuh seolah tanpa tenaga. Kadimeja yang ikut mendengarkan siaran radio beramai-ramai di rumah Sutarno, satu-satunya orang Kali Urip yang waktu itu memiliki radio, sudah merasakan kecemasan sejak awal mendengar bahwa Parjan mendapat surat pemanggilan dari Koramil. Kadimeja sungguh-sungguh tak percaya, bahwa kecemasannya itu menjadi kenyataan. ”Tidak mungkin, Parjan. Mereka pasti keliru dengan memasukkan namamu,” kata Kadimeja yang diangguki oleh ayah dan ibu Suminah. ”Aku tidak mengerti, Kang. Aku sudah jelaskan semuanya, bahwa aku hanya dibayar, tidak tahu menahu, dan tidak ikut-ikutan ke dalam kelompok Bos Sutarman.” Semua yang ada di dalam rumah orang tua Suminah dilanda panik. Lebih-lebih Suminah sendiri. Matanya sudah merah dan basah. ”Tapi aku tak bisa beralasan lagi, waktu mereka memintaku mengakui bahwa aku ikut menerima dan mengirim barang-barang itu ....” Sesedih apa pun keluarga itu, sekuat apa pun mereka mengelak, kenyataan yang selanjutnya terjadi tak bisa dihindarkan. Kenyaan itu tidak lain adalah dengan dimasukkannya Parjan sebagai orang-orang yang perlu ditahan. Ayah Suminah memperhatikan orang desa Kali urip lebih suka menutup diri. Kadimeja semakin rajin mendengarkan radio. Sesudahnya, semua orang terdekat Suminah terpaksa berbohong kepada perempuan itu. Mengatakan Parjan memang belum pulang, tetapi pasti baik-baik saja. Dengan cepat semua orang tahu, Suminah bukanlah anak kecil. Umurnya belum jauh dari tujuh belas tahun. Namun, ia adalah seorang wanita yang tengah mengandung, calon ibu bagi seorang anak. Semua orang tak mampu menghilangkan kesedihan perempuan itu. Karena mereka pun merasakan kesedihan yang sama. Upacara mitoni akan berlangsung dua hari lagi. Uang untuk membeli bahan-bahan yang digunakan untuk membuat makanan dan lauk-pauk, sudah disiapkan. Di Kali Urip, mitoni adalah semacam hajatan kecil. Meski tak mengundang tetangga dan kenalan seperti ketika menyelanggarakan resepsi pernikahan, pasti ada saja tetangga yang datang menyumbang beras. Mereka yang datang perlu dijamu sekadarnya. Tinggal dua hari lagi upacara yang penuh persiapan itu akan berlangsung. Semua sudah siap. Tiba-tiba segalanya menjadi gelap bagi Suminah. Sejak menyadari suaminya ditahan di pusat kota Banyu Putih dan tak bisa segera pulang, Suminah selalu susah tidur. Setiap malam ia gelisah. Siang pun ia sering melamun. Biyung melihat anaknya itu makan terlalu sedikit. Mungkin Suminah tak mau makan apa-apa. Biyung dan istri Kadimeja sudah ratusan kali membujuknya. “Kau tak usah malu, Nduk. Semua orang kan tahu kau bersuami, ada ayah bagi anakmu. Tak seharusnya kau menyiksa diri.” “Betul, Sumi. Pikirkanlah anakmu. Pikirkan bayi yang kau kandung. Kalau kau tak mau makan, bagaimana dengan bayimu? Buatlah suamimu bangga. Kita belum tahu kapan Parjan pulang. Tapi bayi kalian harus tetap sehat.” Demikianlah bujukan biyung dan istri Kadimeja. Semua orang seakan mengerti perasaannya. Padahal mereka mengerti, tetapi dengan tak sepenuhnya. Kesedihan itu benar-benar menyiksa. Maka setelah beberapa hari ia tak enak makan, beberapa malam ia tak nyenyak tidur, terjadilah sesuatu yang mengagetkan semua orang. Suminah akan mencuci piring, gelas, dan sendok-sendok di kali. Ia baru menginjak batas antara air dan pasir. Tumpukan pasir, batu dan kerikil telah mengeras terinjak-injak kaki orang yang datang ke kali itu. Merasa sudah biasa, ia melangkahi tempat itu dengan santai. Suminah mengabaikan bahwa sangat mungkin cipratan air membasah menyebabkan licin tempat itu. Sungguh tak ada persiapan saat kakinya terpeleset, dan badannya terpelanting. Bukan sebakul perabotan kotor yang Suminah bawa saja yang tak bisa ia tahan, hingga jatuh dan beberapa di antarnya pecah berantakan. Namun, juga tubuhnya. Suminah tak mampu mengendalikan ketika badannya tercebur ke air kali. Suminah lupa ada begitu banyak batu terjal di dalam air. Dan terjadilah semuanya. “Siapa yang menyuruhmu mencuci piring, Nduk? Siapa? Aku bisa melakukannya. Oalah, Gusti, bagaimana orang tuamu ini menjelaskan di hadapan Parjan dan mertuamu?” Ibunda Suminah menangis meraung-raung, mengikuti orang-orang yang menggotong anaknya. Suminah harus segera mendapatkan perawatan dukun bayi, untuk mengeluarkan sisa-sisa gumpalan darah dari dalam rahimnya. Tunggu saja kelanjutannya ............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar